Berpusat pada Pembelajar
-->
-->
Salam Pendidikan !. Selamat bertemu dengan kutipan berita, sebuah blog sederhana yang menyajikan informasi terkini. Pada kesempatan ini akan berbagi informasi terkait pergantian kurikulum 2013 yaitu "Berpusat pada Pembelajar". Sebagaimana opini yang dikemukakan oleh salah seorang pemerhati pendidikan bahwa siswa adalah sebagai pembelajar utama. Mengapa demikian ?, simak kutipan berikut ini Berpusat pada Pembelajar.
Berpusat pada Pembelajar
Oleh Doni Koesoema A
Ada
perubahan dasar dalam Kurikulum 2013. Perubahan ini terkait konsepsi
terhadap siswa. Sekarang, siswa dianggap sebagai pembelajar utama.
Begitu
konsep terhadap siswa berubah, tujuan pendidikan juga berubah. Demikian
juga dengan seluruh metode dan strategi pengajaran serta sistem
evaluasi. Perubahan konsep ini memiliki implikasi moral, kultural, dan
pedagogis yang tidak kecil. Selama perubahan dalam tiga dimensi ini
tidak disentuh, Kurikulum 2013 terancam gagal, sekadar macan kertas,
karena praktik dan sistem budaya yang ada tetap sama.
Tiga implikasi
Secara
moral, kebijakan pendidikan dalam kurikulum baru menekankan kebaikan
yang ditujukan bagi siswa dalam belajar. Karena itu, fokus pendidikan
yang terutama adalah siswa.
Setiap kebijakan pendidikan, sebelum
dirancang harus bertanya: apakah kebaikan siswa yang akan diperoleh
melalui desain pendidikan? Pandangan ini memiliki implikasi moral bahwa
siswa tak lagi boleh dianggap obyek, baik itu bagi pertarungan
kepentingan politik maupun ajang pencarian nama baik, apalagi pencitraan
atas nama apa pun.
Siswa adalah individu yang harus dihargai
keberadaannya sebagai individu karena mereka adalah pembelajar utama
dalam pendidikan. Merekalah pelaku utama dalam pendidikan. Siswa adalah
subyek yang belajar. Tugas pendidik adalah menumbuhkan gairah belajar
dalam diri siswa.
Secara kultural, model pendidikan yang selama
ini telah terbentuk adalah cara belajar yang monolog, searah. Siswa
selama ini dianggap semacam gelas kosong yang harus diisi dengan ilmu
oleh pendidik dan guru. Demikian juga siswa. Mereka sendiri mengasumsi
demikian. Dia hanya akan belajar sesuai dengan apa yang diinginkan
pendidik.
Kultur belajar yang terjadi selama ini tidak otentik,
melainkan mengikuti apa yang dimaui guru, baik dalam pembuatan tugas
maupun ulangan. Karena itu, murid hanya berusaha membuat guru senang
karena apa yang diminta guru telah mereka penuhi. Namun, sesungguhnya,
mereka tidak belajar. Mereka hanya pura-pura belajar karena belajar
dianggap sekadar memenuhi apa yang diminta guru.
Oleh karena itu,
siswa sekarang pun mesti diajak untuk berpikir yang berbeda dari
sebelumnya. Ia belajar bukan karena permintaan guru atau pertanyaan
guru, melainkan ia belajar sesuatu karena ingin mendalami ilmu itu
dengan lebih baik yang akan berguna bagi hidupnya di masa sekarang dan
yang akan datang. Siswa adalah pelaku aktif dalam proses belajar. Jadi,
perubahan pedagogis juga merupakan sebuah keharusan.
Pedagogi
berbicara tentang bagaimana cara-cara pendidik mendampingi anak-anak
muda ini dalam mengembangkan dan menumbuhkan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan. Dimensi pembelajaran yang mengembangkan rasa ingin tahu
melalui kegiatan bertanya, mengamati, dan mengeksplorasi jadi hal yang
sentral dalam proses belajar.
Di sini terjadi pergeseran peran
guru. Guru pun bukan lagi merupakan pemonopoli ilmu pengetahuan,
melainkan menjadi fasilitator pembelajaran bermakna bagi siswa.
Pembelajaran
bukan lagi sebuah proses yang terjadi secara statis, monolog—dari guru
ke siswa—melainkan guru memberikan kesempatan dan ruang bagi siswa untuk
mendalami, belajar dari pengalaman, mengeksplorasi tema-tema tertentu
sehingga ilmu yang mereka dapatkan akan semakin utuh dan lengkap. Guru
menjadi pendesain ruang-ruang, memancing tanya, serta membuka wawasan
siswa agar berani memasuki dunia eksplorasi dan penjelajahan ilmu
pengetahuan secara efektif.
Ketiga hal di atas mengandaikan
adanya kebebasan berpikir, bertindak dalam diri pendidik dan siswa.
Alhasil, yang terjadi dalam setiap proses pembelajaran adalah
pembelajaran yang otentik, bertumpu pada rasa penasaran intelektual
dalam diri siswa sampai pada pemahaman yang makin mendalam tentang
gejala-gejala, baik itu alamiah maupun yang sublim, secara intensif dan
mendalam. Hanya dengan kebebasan berpikir seperti inilah dapat terlahir
para pendidik dan pembelajar yang bertanggung jawab atas anugerah ilmu
pengetahuan yang telah ia terima dari Sang Pencipta.
Takut kebebasan berpikir
Sayangnya,
dinamika di la- pangan menunjukkan, para pendidik dan pelajar belum
terbiasa dengan suasana kebebasan berpikir. Kita ingat konsep pendidikan
yang berpusat pada siswa pernah dilaksanakan tahun 1984 dengan
Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
Namun, apa yang
terjadi di lapangan? Guru masih tetap terpaku pada jawaban dalam teks.
Siswa pun masih memiliki kebiasaan yang sama. Jenis pertanyaan yang
diajukan hanya berdasar pada teks. Demikian juga dengan jawaban siswa.
Siswa juga cenderung mencarinya dalam teks. Pendidikan kita sangat
textbooks. Begitu soalnya dialihkan ke kehidupan nyata yang memerlukan
analisis dalam pengambilan keputusan, siswa tidak mampu.
CBSA
gagal karena kultur di lapangan, di tingkat pendidik dan siswa tidak
selaras dengan konsep dasar yang ingin dikembangkan. Siswa diharapkan
aktif berpikir, tetapi guru sendiri mengesankan bahwa jawaban siswa
harus sama seperti apa yang diinginkan oleh guru, yaitu sebagaimana ada
dalam buku teks. Akhirnya, CBSA hanya melahirkan rentetan pembelajaran
semu dari tahun ke tahun. Guru ingin setia pada jawaban dalam teks, dan
siswa pun menyesuaikan dengan apa yang diminta dan diharapkan guru. CBSA
gagal melahirkan individu yang mampu berpikir bebas.
Kebebasan
bereksplorasi dan belajar inilah tampaknya yang masih juga ditakutkan
oleh para pengambil kebijakan sehingga cara-cara bereksplorasi pun
diatur, diarahkan, bahkan dibuatkan tema-temanya. Ini sangat kentara
dari gagasan dasar buku babon untuk siswa dan guru. Jika buku babon ini
hanya bersifat instruktif, tidak eksploratif, alias tidak memberi ruang
bagi penggalian pengalaman secara mandiri maupun kelompok, gagasan besar
Kurikulum 2013 hanya akan berhenti pada tataran kebijakan, tetapi tidak
terjadi di lapangan.
Perubahan kultural
Tantangan
pendidikan ke depan memang tidak ringan. Pembaruan kurikulum merupakan
salah satu cara untuk mengantisipasi perubahan zaman tersebut. Namun,
pembaruan kurikulum tidak akan efektif ketika dimensi kultural yang
memengaruhi cara guru dan siswa berpikir dan melakukan pendidikan juga
tidak diubah.
Melihat realitas para pendidik di lapangan sebagai
pelaku utama Kurikulum 2013, paradigma perubahan kultural perlu
dikembangkan dalam diri pendidik. Perubahan kurikulum sebagus apa pun
tidak akan mengubah kultur pendidikan kita yang sentralistis,
guru-muridisme, dan murid-manutisme, bila kesiapan tenaga pendidik dan
pelaku di lapangan tidak menyentuh sampai membongkar kesadaran budaya
sentralisme yang memasung kreativitas guru, menciptakan budaya asal guru
senang, dan asal murid naik kelas, meski sesungguhnya mereka tidak
layak mendapatkan itu semua.
Mengubah budaya ini merupakan keharusan.
Doni Koesoema A Pemerhati Pendidikan
Sumber :
Kompas Cetak
Berpusat pada Pembelajar, demikianlah pergantian kurikulum yang merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi perubahan zaman. semoga bermanfaat.
Keyword : Berpusat pada Pembelajar
No comments for "Berpusat pada Pembelajar"
Post a Comment